Ciu dan Sejarahnya
Ciu cangkol atau ciu adalah sebutan bagi sejenis minuman beralkohol khas dari Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, Indonesia, sebuah daerah di sekitar pinggiran kota Solo. Minuman ini dikenal mengandung alkohol dan sangat efektif untuk membuat orang yang meminumnya mabuk. Ciu sangat populer di pulau Jawa sehingga seorang penulis yang terlahir dari Bekonang mendapat julukan "Ciu" di depan namanya, yaitu Ciu Cahyono.
Orang Solo sering menyebut minuman tradisional itu dengan sebutan Ciu. Karena “pabrik-pabrik” nya banyak ditemui di kawasan Bekonang – Sukoharjo (sebuah daerah kawasan pinggiran Solo) tak sedikit yang menyebutnya dengan sebutan Ciu Bekonang.
Minuman ciu ini dianggap dan disepakati keharamannya karena mengandung alkohol yang tidak sedikit. Sebuah referensi sumber dari kepolisian RI yang kuperoleh menyebutkan bahwa Ciu mengandung kadar alkohol cukup tinggi yaitu sekitar 30-40%. Busyet dah,, Tak salah jika minuman ini sangat efektif untuk membuat orang yang meminumnya mabuk, dan ngomyang (ngigau) jika pada kondisi “tinggi”.
Gimana caranya bikin Ciu, sejujurnya aku tidak mengetahuinya. Namun, setelah kucoba googling kesana kemari, kuperoleh sedikit referensi singkat tentang proses membuat minuman Ciu ini. Simpel-nya, cairan berisi campuran gula kelapa, tape singkong, dan laru dilarutkan dan dicampur ke dalam sebuah panci yang dibakar di atas perapian. Setelah itu, panci ditutup. Kemudian tutup panci tersebut dihubungkan dengan pipa bambu, lantas disalurkan melewati air dingin. Selanjutnya di ujung pipa ditempatkan gelas kaca besar berukuran 2-3 liter untuk menampung air hasil sulingannya. Demikian sedikit referensi tentang proses pembuatan minuman Ciu.
Jika ingin melihat reaksi ngomyang para peminum Ciu ini silakan kawan-kawan datang ke Jalan Ciu Bekonang. Di warung-warung sekitarnya, ciu dihidangkan dengan berbagai rasa, tergantung campurannya (sumber). Misalnya ada istilah cisprite, campuran dengan minuman ringan Sprite, dengan perbandingan 1:1. Selain itu, ada pula cikola (campuran ciu dan Coca-cola), ciut (ciu dengan Nutrisari), cias (ciu dengan wedang asam), ciu tiga dimensi (campuran ciu dengan bir dan Kratingdaeng), dan ciu empat dimensi (ciu, bir, Kratingdaeng, dan Sprite), serta kidungan (ciu dengan campuran air rendaman tanduk kijang). Jenis terakhir ciu campuran itu diyakini sebagai obat kuat. Kalao masih kurang, silakan ciu dicampur dengan obat Bodrex. hahahahaha. Rasakan sensasinya bersama “malaikat-malaikat”.
Minuman asal Bekonang Solo ini rupa-rupanya dijual cukup murah. Bermodal Rp. 5.000,- perak saja, anda sudah bisa menikmati flying on the sky dengan menegak 1 liter ciu sambil ngomyang. Karena murahnya harga banyu gendeng (minuman yang bisa bikin gila) ini, ciu sering diasosiasikan sebagai sebuah perlawanan dari rakyat jelata terhadap serangan gaya hidup global melalui masuknya minuman-minuman “modern” ala Coca Cola atau Sprite dan Fanta. Lebih dari itu, minuman ini juga menjadi semacam pelarian mudah dan murah bagi kalangan kaum “rendahan” untuk menikmati flying dan mendem (mabuk) di kala malam yang dingin. Bila dibandingkan dengan minuman keras beralkohol produk-produk luar negeri yang harganya relatif mahal, maka ciu telah menjadi solusi.
Kendatipun disebut dan dikonotasikan sebagai minuman para preman dan pekerja-pekerja kelas rendahan, pada akar sejarahnya minuman ciu ini sebenarnya justru berasal dari sebuah budaya menyimpang Kraton yang dipengaruhi oleh bujukan para penjajah Belanda.
Sejarah Ciu
Dalam sebuah referensi disebutkan bahwa sejarah Ciu dimulai pada abad ke-17, di jaman pertengahan kerajaan mulai mengembangkan berbagai budidaya seperti gula tebu dan beras. Dari dua komoditi itu kemudian dibuatlah anggur yang terbuat dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan kelapa. Minuman ini diproduksi sejak akhir abad ke-17 sampai abad ke-19 dan merupakan minuman populer di Eropa, terutama Swedia. Minuman ini juga umum dikenal sebagai the Batavia Arrack van Oosten.
Pada waktu pemerintahan raja-raja (keraton Surakarta dan Yogyakarta) sebelum Indonesia merdeka, terdapat tradisi pada acara-acara pesta panen raya atau penyambutan tamu-tamu kerajaan dengan mengadakan pesta dan tarian tradisional seperti Tayub, Sinden Ledek dan sebagainya. Acara-acara ini marak setelah Belanda masuk campur tangan demi menjatuhkan kekuasaan kraton secara pelan-pelan tentunya. Pada acara acara tersebut, walaupun berlangsung pada siang hari, pasti ada acara minum minuman keras “Ciu Bekonang” untuk mabuk-mabukan, baik di kalangan punggawa kerajaan maupun rakyat di sekitar kerajaan
Pada masa itu walaupun usaha yang dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, namun telah menghasilkan sesuatu yang disebut “CIU” dengan kadar alkohol yang masih rendah. Ciu atau yang terkenal dengan sebutan “Ciu Bekonang” pada awal-awal produksinya memang dikonsumsi untuk minuman keras dan mabuk-mabukan.
Menjelang Indonesia Merdeka pada tahun 1945, pengrajin industri rumah tangga “Ciu Bekonang” hanya berkisar 20 orang saja dan hasil produksinya kurang lebih per hari hanya 10 liter saja. Peralatan Produksinyapun masih sangat sederhana. Penjualan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan pada orang-orang tertentu yang suka mabuk-mabukan.
Antara tahun 1961 sampai tahun 1964, industri alkohol “Ciu Bekonang” sudah mulai ada kemajuan. Kemajuan dalam hal peningkatan kadar alkohol dari 27% menjadi 37% dengan peralatan yang juga masih sangat sederhana. Hasil alkohol yang masih berkadar 37% ditampung dan ditingkatkan kadar alkoholnya. Dari Jumlah pekerja juga sudah ada peningkatan menjadi sekitar 30– an pengrajin alkohol. Hasilnyapun sudah dipasarkan mencapai hampir keseluruh wilayah karesidenan Surakarta, Surabaya, Kediri dan lain-lain.
Pada tahun 1980-an, Pemda Tingkat II Sukoharjo (Dinas Perindustrian) mengucurkan bantuan sebesar Rp.2.000.000,- guna meningkatkan produksi minuman “tradisional” ini. Hasilnya, kadar alkohol sudah dapat ditingkatkan kadarnya menjadi 60%. Pada tahun 1997 ada naskah kesepakatan dengan industri alkohol besar di Karanganyar (Jateng) yaitu PT. Indo Acidatama Chemical Industri . Hingga tahun 2000, dengan peralatan yang lebih modern lagi, kadar alkohol ciu berhasil ditingkatkan menjadi 70% bahkan 90%. Weleh-weleh…, parah. Bener-bener banyu gendeng.
Ciu Sebagai Simbol Perlawanan
Sebagaimana telah sedikit kuungkap di atas, bahwa sebagian kalangan menilai ciu merupakan sebuah produk yang lahir dari pemberontakan wong cilik terhadap kemapanan dan modernisasi yang menindas gerak laju mereka. Tempat-tempat hiburan yang dulunya cukup mudah dinikmati kini mulai tergerus oleh ancaman global melalui alat-alat elektronik model ala Mp4, I Pod, Video Game, Televisi, dll. Panggung hiburan sudah mulai digantikan dengan bangunan-bangunan yang diperuntukkan untuk pusat-pusat bisnis.
Ada semacam fenomena budaya di Solo yang menjadikan Ciu sebagai pemicu kemabukan agar bisa lebih menikmati sebuah hiburan rakyat. Sebut saja dangdut. Setiap ada pertunjukan dangdut, baik itu di THR (Taman Hiburan Rakyat ) maupun di event-event yang cakupannya kecil seperti hajatan, bisa dipastikan Ciu hadir di tengah-tengah massa. Selain sebagai pemicu untuk mencapai kondisi mabuk, Ciu hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni industri hiburan yang tak terbeli yang hadir melalui MTV, I Pod, Mall yang telah disebutkan di atas. Kita merasa lebih civilized ketika minum kopi bergambar putri duyung di gerai sebuah Mall. Kita merasa lebih eksis ketika kita mampu mendengarkan lagu favorit kita melalui I pod. Kita merasa lebih trendi dan gaul bila kita pergi jalan-jalan ke Mall daripada ke pasar rakyat seperti di Sekaten.
Berhala-berhala industri budaya pop itu memanipulasi kita, mengendalikan kita, dan mengkungkung kita dalam tuntutan-tuntutan untuk memenuhi hasrat konsumeris kita. Bagi kaum marjinal, anak jalanan, preman dan anak-anak muda yang merasa terpinggirkan oleh kehadiran berhala ala Amerika, Ciu + Dangdut + Goyang menjadi pertahanan dan perlawanan terakhir terhadap serbuan budaya global.
Orang-orang itu mempunyai jiwa yang bebas dan bisa menjadi diri mereka sendiri. Mereka mempunyai selera dan cita rasa yang khas, terlepas dari penyeragaman cita rasa dan selera yang dilakukan industri hiburan global. Mereka tidak membenci hiburan-hiburan mahal dengan semangat primordial dan gaya perlawanan lokal. Mereka hanya butuh hiburan yang terjangkau di tengah-tengah himpitan kesulitan ekonomi. Mereka tetap eksis dengan pilihannya. Mereka masih ada di tengah-tengah kita. Demikian tulis seorang kawan blogger melihat sisi lain ciu. Namun terlepas dari semuanya, Ciu tetaplah sebuah minuman haram yang tidak boleh dikonsumsi seorang muslim. So, Let’s Cheer without Beer !!!
referensi--->
0 komentar:
Posting Komentar